Jumat, 03 Oktober 2014
Selasa, 30 September 2014
KAMPUS IKIP PGRI PTK
PENARUH NAPOLEON BONARPATE TERHADAP PENGARUH ISLAM
Segala puji atas kehadirat Tuhan Maha Esa. Salam
sejahtera semoga senantiasa tercurah kepada Muhammad, Sang Pembawa Risalah.
Dalam perkembangannya Islam mengalami beberapa fase. Narasi proses perjalan
Islam tersebut senantiasa melahirkan tokoh-tokoh yang memberi nuansa
tersendiri, hingga di masa kini.
Kemajuan dan kemunduran Islam tidak dapat dilepaskan
dari perjumpaannya dengan berbagai kebudayaan. Perjumpaan tersebut membentuk
tarian yang kompleks lan dinamis yang terus memproduksi nilai dan realitas
terbaru.
Sebentuk kecil dari narasi perjumpaan tersebut adalah
tentang Napoleon dan ekspansinya ke negeri Mesir. Sebuah ‘kunjungan’ berharga
bagi umat Islam yang tengah mengalami fase disintegrasi; kunjungan yang
menyadarkan ketertinggalannya sebagai umat yang pada fase sebelumnya (650-1000
M) menguasai hampir seluruh daratan di bumi.
Jika untuk menjadi sempurna gading harus retak,
makalah ringkas tentang Napoleon ini bukanlah gading, melainkan serpihan
gading. Sebuah upaya sederhana guna memotret sekilas rekam jejak tokoh yang
turut melambari pembaharuan dalam Islam sebagai mana yang memang menjadi tema
sentral mata kuliah ini
Kilas Napoleon Bonaparte
Jendral dan Kaisar Perancis yang tenar, Napoleon I,
keluar dari rahim ibunya di Ajaccio, Corsica, tahun 1769. Nama aslinya Napoleon
Bonaparte. Corsica masuk wilayah kekuasaan Perancis cuma lima belas bulan
sebelum Napoleon lahir, dan pada saat-saat remajanya Napoleon seorang
nasionalis Corsica yang menganggap Perancis itu penindas. Tetapi, Napoleon
dikirim masuk akademi militer di Perancis dan tatkala dia tamat tahun 1785 pada
umur lima belas tahun dia jadi tentara Perancis berpangkat letnan.
Empat tahun kemudian Revolusi Perancis
meledak dan dalam beberapa tahun pemerintah baru Perancis terlibat perang
dengan beberapa negara asing. Kesempatan pertama Napoleon menampakkan kebolehannya
adalah di tahun 1793, dalam pertempuran di Toulon (Perancis merebut kembali
kota itu dari tangan Inggris), tempat Napoleon bertugas di kesatuan artileri.
Pada saat itu dia sudah tidak lagi berpegang pada paham nasionalis Corsicanya,
melainkan sudah menganggap diri orang Perancis. Sukses-sukses yang diperolehnya
di Toulon mengangkat dirinya jadi brigjen dan pada tahun 1796 dia diberi beban
tanggung jawab jadi komando tentara Perancis di Itali. Di negeri itu, antara
tahun 1796-1797, Napoleon berhasil pula merebut serentetan kemenangan yang
membuatnya seorang pahlawan tatkala kembali ke Perancis.
Di tahun 1798 ia memimpin penyerbuan
Perancis ke Mesir. Langkah ini ternyata merupakan malapetaka. Di darat, umumnya
pasukan Napoleon berhasil, tetapi Angkatan Laut Inggris di bawah pimpinan Lord
Nelson dengan mantap mengobrak-abrik armada Perancis, dan di tahun 1799
Napoleon meninggalkan pasukannya di Mesir dan pulang ke Perancis.
Begitu sampai di Perancis, Napoleon yang
jeli itu dapat berkesimpulan bahwa rakyat Perancis lebih terkenang dengan
kemenangan-kemenangannya di Itali ketimbang kegagalan ekspedisi Perancis ke
Mesir. Berpegang pada fakta ini, hanya sebulan sesudah dia menginjak bumi
Perancis, Napoleon ambil bagian dalam perebutan kekuasaan bersama Albe Sieyes
dan lain-lainnya. Kup ini melahirkan sebuah pemerintah baru yang disebut
“Consulate” dan Napoleon menjadi Konsul pertama. Kendati konstitusi sudah
disusun dengan cermat dan diterima lewat persetujuan plebisit rakyat, ini cuma
kedok belaka untuk menutupi kediktatoran militer Napoleon yang dengan segera
mampu menyikut dan melumpuhkan lawan-lawannya.
Naiknya Napoleon ke tahta kekuasaan
betul-betul menakjubkan. Tepatnya di bulan Agustus 1793, sebelum pertempuran
Toulon, Napoleon samasekali tidak dikenal orang. Dia tak lebih dari seorang
perwira rendah berumur dua puluh empat tahun dan bukan sepenuhnya orang
Perancis. Tetapi, kurang dari enam tahun kemudian –masih dalam usia tiga puluh
tahun– sudah menjelma jadi penguasa Perancis yang tak bisa dibantah lagi,
posisi yang digenggamnya selama lebih dari empat belas tahun.
Di masa tahun-tahun kekuasaannya,
Napoleon melakukan perombakan besar-besaran dalam sistem administrasi
pemerintahan serta hukum Perancis. Misalnya, dia merombak struktur keuangan dan
kehakiman, dia mendirikan Bank Perancis dan Universitas Perancis, serta
menyentralisir administrasi. Meskipun tiap perubahan ini punya makna penting,
dan dalam beberapa hal punya daya pengaruh jangka lama khususnya untuk
Perancis, tidaklah punya pengaruh yang berarti buat negeri lain.
Tetapi salah satu perombakan yang
dilakukan oleh Napoleon punya daya pengaruh yang melampaui batas negeri
Perancis sendiri. Yaitu, penyusunan apa yang termasyhur dengan sebutan Code
Napoleon. Dalam banyak hal, code ini mencerminkan ide-ide Revolusi Perancis.
Misalnya, di bawah code ini tidak ada hak-hak istimewa berdasar kelahiran dan
asal-usul, semua orang sama derajat di mata hukum. Berbarengan dengan itu code
tersebut cukup mendekati hukum-hukum lama dan adat kebiasaan Perancis sehingga
diterima oleh rakyat Perancis dan sistem pengadilannya. Secara umum, code itu
moderat, terorganisir rapi dan ditulis dengan ringkas, jelas, serta dapat
diterima, tambahan pula mudah difahami. Akibatnya, code ini tidak hanya berlaku
di Perancis (hukum perdata Perancis yang berlaku sekarang hampir mirip dengan
Code Napoleon itu) tetapi juga diterima pula di negeri-negeri lain dengan
perubahan-perubahan yang disesuaikan dengan keperluan setempat.
Politik Napoleon senantiasa menumbuhkan
keyakinan bahwa dialah seorang yang membela Revolusi Perancis. Tetapi, di tahun
1804 dia sendiri pula yang memperoklamirkan diri selaku Kaisar Perancis.
Tambahan lagi, dia mengangkat tiga saudaranya keatas tahta kerajaan di beberapa
negara Eropa. Langkah ini tidak bisa tidak menumbuhkan rasa tidak senang pada
sebagian orang-orang Republik Perancis yang menganggap tingkah itu sepenuhnya
merupakan pengkhianatan terhadap ide-ide dan tujuan Revolusi Perancis. Tetapi,
kesulitan utama yang dihadapi Napoleon adalah peperangan dengan negara-negara
asing.
Di tahun 1802, di Amiens, Napoleon
menandatangani perjanjian damai dengan Inggris. Ini memberi angin lega kepada
Perancis yang dalam tempo sepuluh tahun terus-menerus berada dalam suasana
perang. Tetapi, di tahun berikutnya perjanjian damai itu putus dan peperangan
lama dengan Inggris dan sekutunya pun mulai lagi. Walaupun pasukan Napoleon
berulang kali memenangkan pertempuran di daratan, Inggris tidak bisa dikalahkan
kalau saja armada lautnya tak terlumpuhkan. Malangnya untuk Napoleon, dalam
pertempuran yang musykil di Trafalgar tahun 1805, armada laut Inggris merebut
kemenangan besar. Karena itu, pengawasan dan keampuhan Inggris di lautan
tidaklah perlu diragukan lagi. Meskipun kemenangan besar Napoleon (di
Austerlitz melawan Austria dan Rusia) terjadi enam minggu sesudah Trafalgar,
hal ini sama sekali tidak bisa menghapus kepahitan kekalahan di sektor armada
laut.
Di tahun 1808 Napoleon perbuat ketololan
besar melibatkan Perancis ke dalam peperangan yang panjang dan tak menentu ujung
pangkalnya di Semenanjung Iberia, tempat tentara Perancis tertancap tak
bergerak selama bertahun-tahun. Tetapi, kekeliruan terbesar Napoleon adalah
serangannya terhadap Rusia. Di tahun 1807 Napoleon bertemu muka dengan Czar,
dan dalam perjanjian Tilsit mereka bersepakat menggalang persahabatan abadi.
Tetapi, persepakatan dan persekutuan itu lambat laun rusak, dan di tahun 1812
bulan Juni Napoleon memimpin tentara raksasa menginjak-injak bumi Rusia.
Hasil dari perbuatan ini sudah sama
diketahui. Tentara Rusia umumnya menghindar dari pertempuran langsung
berhadapan dengan tentara Napoleon, karena itu Napoleon dapat maju dengan
cepatnya. Di bulan September Napoleon menduduki Moskow. Tetapi, orang Rusia
membumihanguskan kota itu dan sebagian besar rata dengan tanah. Sesudah
menunggu lima minggu di Moskow (dengan harapan sia-sia Rusia akan menawarkan
perdamaian), Napoleon akhirnya memutuskan mundur, tetapi keputusan ini sudah
terlambat. Gabungan antara pukulan tentara Rusia dan musim dingin yang kejam,
tak memadainya suplai pasukan Perancis mengakibatkan gerakan mundur itu menjadi
gerakan mundur yang morat-marit. Kurang dari sepuluh persen tentara raksasa
Perancis bisa keluar dari bumi Rusia hidup-hidup.
Negara-negara Eropa lain, seperti
Austria dan Prusia, sadar benar mereka punya kesempatan baik menghajar
Perancis. Mereka menggabungkan semua kekuatan menghadapi Napoleon,dan pada saat
pertempuran di Leipzig bulan Oktober 1813, Napoleon kembali mendapat pukulan
pahit hingga sempoyongan. Tahun berikutnya dia berhenti dan dibuang ke Pulau
Elba, sebuah pulau kecil di lepas pantai Itali.
Di tahun 1815 dia melarikan diri dari
Pulau Elba, kembali ke Perancis, disambut baik dan kembali berkuasa.
Kekuatan-kekuatan Eropa segera memaklumkan perang dan seratus hari sehabis
duduknya lagi ia di tahta kekuasaan, Napoleon mengalami kekalahan yang
mematikan di Waterloo.
Sesudah Waterloo, Napoleon dipenjara
oleh orang Inggris di St. Helena, sebuah pulau kecil di selatan Samudera
Atlantik. Di sinilah dia menghembuskan nafasnya yang terakhir tahun 1821 akibat
serangan kanker.
Karier militer Napoleon menyuguhkan
paradoks yang menarik. Kegeniusan gerakan taktiknya amat memukau, dan bila
diukur dari segi itu semata, bisa jadi dia bisa dianggap seorang jendral
terbesar sepanjang jaman. Tetapi di bidang strategi dasar dia merosot akibat
bikin kekeliruan-kekeliruan besar, seperti misalnya penyerbuan ke Mesir dan
Rusia. Kesalahan strateginya begitu bego sehingga Napoleon tak layak dijuluki
pemimpin militer kelas wahid. Apakah anggapan kedua ini tidak adil? Saya kira
tidak. Sesungguhnya, ukuran kebesaran seorang jendral terletak pada
kemampuannya mengelak dari berbuat kesalahan-kesalahan yang menuntun kearah
kehancuran. Hal semacam itu tak terjadi pada diri Alexander Yang Agung, Jengis
Khan dan Tamerlane yang tentaranya tak pernah terkalahkan. Berhubung Napoleon
pada akhirnya dapat dikalahkan di tahun 1815, Perancis memiliki daerah lebih
kecil ketimbang yang pernah dipunyainya di tahun 1879, saat pecahnya Revolusi.
Napoleon tentu saja seorang “egomaniac”
dan sering dianggap semodel dengan Hitler. Tetapi, ada perbedaan yang ruwet
diantara keduanya. Jika Hitler bertindak sebagian terbesarnya atas dorongan
ideologi yang tersembunyi, Napoleon semata-mata terdorong oleh ambisi yang
oportunistis dan dia tak punya selera melakukan penjagalan besar dan
gila-gilaan. Dalam masa pemerintahan Napoleon, tidak terdapat semacam kamp
konsentrasi seperti yang dipunyai Hitler.
Teramat masyhurnya nama Napoleon amat
mudah menjebak orang menganggap dia itu berpengaruh besar secara
berlebih-lebihan. Masa pengaruh jangka pendeknya memang besar, mungkin lebih
besar dari Alexander Yang Agung walaupun tidak sebesar Hitler. (Menurut
taksiran, sekitar 500.000 tentara Perancis mati dalam perang Napoleon, sedang
sekitar 800.000 orang Jerman tewas selama Perang Dunia ke-2). Dengan ukuran apa
pun, perbuatan pengrusakan Napoleon lebih sedikit ketimbang apa yang diperbuat
Hitler.
Dalam kaitan pengaruh jangka panjang,
tampaknya Napoleon lebih penting ketimbang Hitler, meski lebih kurang penting
dibanding Alexander Yang Agung. Napoleon melakukan perubahan luas dalam tata
administrasi Perancis, tetapi penduduk Perancis cuma satu per tujuh puluh
penduduk dunia. Dalam tiap kejadian, perubahan administratif macam itu harus
ditinjau dari sudut perspektif yang sewajarnya. Pengaruhnya terhadap orang
Perancis jauh lebih sedikit ketimbang perubahan-perubahan sejumlah kemajuan
teknologi dalam masa dua abad belakangan ini.
Banyak orang bilang, masa Napoleon
menyediakan peluang bagi perubahan-perubahan bagi terkonsolidasinya dan semakin
mapannya kaum borjuais Perancis. Di tahun 1815, tatkala monarki Perancis
akhirnya tersusun kembali, perubahan-perubahan ini ditopang dan dilindungi
begitu baiknya sehingga kemungkinan bisa kembalinya pola-pola sosial orde lama
suatu hal yang sepenuhnya mustahil. Tetapi, perubahan terpenting sebetulnya
terjadi dan tersusun sebelum Napoleon. Pada tahun 1799 ketika Napoleon memegang
kendali pemerintahan mungkin setiap jalan ke arah kembalinya ke masa status quo
sudah terlambat. Tetapi, lepas dari ambisi Napoleon sendiri yang keraja-rajaan,
dia memang pegang peranan penting menyebarnya ide revolusi ke seluruh Eropa.
Napoleon juga membawa akibat timbulnya
pengaruh-pengaruh luas dan besar dalam revolusi Amerika Latin. Penyerbuannya ke
Spanyol melemahkan pemerintahan Spanyol sehingga cengkraman kolonialnya di
daerah-daerah jajahannya juga dengan sendirinya melonggar dan tidak efektif.
Dalam situasi de facto otonomi inilah gerakan-gerakan kemerdekaan Amerika Latin
mulai meletus.
Ekspedisi ke Mesir
Setelah selesainya Revolusi 1789 Prancis
mulai menjadi negara besar yang mendapat saigan dan tantangan dari Inggris.
Inggris di waktu itu telah meningkat kepentingan-kepentingannya di India dan
untuk memutuskan komunikasi antara Inggris di Barat dan India di Timur,
Napoleon melihat bahwa Mesir perlu di letakkan di bawah kekuasaan Prancis. Di
samping itu Prancis perlu pada pasaran baru untuk hasil perindustriannya.
Napoleon sendiri kelihatannya mempuyai tujuan sampingan lain. Aleksander
Macedonia pernah menguasai Eropa dan Asia sampai ke India, dan Napoleon ingin
mengikuti jejak Aleksander ini. Tempat strategis unutk menguasai kerajaan besar
seperti yang dicita-citakannya itu, adalah Kairo dan bukan Roma atau Paris.
Inilah beberapa hal yang mendorong Prancis dan Napoleon untuk menduduki Mesir.
Mesir pada waktu itu beradadi bawah
kekuasaan kaum Mamluk, sungguhpun sejak ditaklukkan Sultan Salim di tahun 1517,
daerah ini pada hakikatnya merupakan bagian dari kerajaan Usmani. Tetapi setelah
bertambah lemahnya kekuasaan sultan-sultan di abad ke-17, Mesir mulai
melepaskan diri kekuasaan Istambul dan akhirnya menjadi daerah otonom.
Sultan-sultan Usmani tetap mengirim
seorang Pasya Turki ke Kairo untuk bertindak sebagai wakil mereka dalam memerintah
daerah ini. Tetapi karena kekuasaan sebenarnya terletak di tangan Kaum Mamluk,
kedudukannya di Kairo tidak lebih dari kedudukan seorang duta besar.
Kaum Mamluk berasal dari budak-budak
yang dibeli di Kauasus, suatu daerah pegunungan yang terletak di daerah
perbatasan antara Rusia dan Turki. Mereka dibawa ke Istambul atau ke Kairo
untuk diberi didikan militer, dan dalam dinas kemiliteran kedudukan mereka
meningkat dan di antaranya ada yang dapatmencapai jabatan militer tertinggi.
Setelah jatuhnya prestise sultan-sultan
Usmani, mereka tidak mau lagi tunduk kepada Istambubl bahkan menolak pengiriman
hasil pajak yang mereka pungut dengan secara kekerasan dari rakyat Mesir ke
Istambul. Kepala mereka disebut Syeikh al-Balad dan syeikh ini yang sebenarnya menjadi
raja di Mesir pada waktu itu. Karena mereka bertabiat kasar dan biasanya hanya
tahu bahasa Turki dan tak pandai berbahasa Arab, hubungan mereka dengan rakyat
Mesir tidak begitu baik.
Bagaimana lemahnya pertahanan kerajaan
Usmani dan kaum Mamluk di ketika itu, dapat digambarkan dari perjalanan perang
di Mesir. Napoleon mendarat di Alexandria pada tanggal 2 juni 1798 dan keesokan
harinya kota pelabuhan yang penting ini jatuh. Sembilan hari kemudian, Rasyid,
suatu kota yang terletak di sebelah timur Alexandria, jatuh pula. Pada tanggal
21 Juli tentara Napoleon sampai di daerah pyramid di dekat Kairo. Pertempuran
terjadi di daerah itu dan kamu Mamluk karena tak sanggup melawan
senjata-senjata meriam Napoleon, lari ke Kairo. Tetapi di sini mereka tidak mendapat
simpati dan sokongan dari rakyat Mesir. Akhirnya mereka terpaksa lari dari
daerah Mesir sebelah selatan. Pada tanggal 22 Juli, tidak sampai tiga minggu
setelah mendarat di Alexandria, Napoleon telah dapat menguasai Mesir.
Usaha Napoleon untuk menguasai
daerah-daerah lainnya di Timur tidak berhasil dan sementara itu perkembangan
politik di Prancis menghendaki kehadirannya di Paris. Pada tanggal 18 Agustus
1799, ia meninggalkan Mesir dan kembali ke tanah airnya. Ekspedisi yang
dibawanya ia tinggalkan di bawah pimpinan Jendral Kleber. Dalam pertempuran
yang terjadi tahun 1801 dengan armada Inggris, kekuatan Prancis di Mesir
mengalami kekalahan. Ekspedisi yang dibawa Napoleon itu meninggalkan Mesir pada
tanggal 31 Agustus 1801.
Napoleon datang ke Mesir bukan hanya
membawa tentara. Dalam rombongannya terdapat 500 kaum sipil dan 500 wanita. Di
antara kaum sipil itu terdapat 167 ahli dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan.
Napoleon juga membawa dua unit percetakan dengan huruf Latin, Arab dan Yunani.
Ekspedisi itu datang bukan hanya untuk kepentingan militer, tetapi juga untuk
keperluan ilmiah. Untuk hal tersebut yang akhir ini dibentuk suatu lembaga
ilmiah bernama Institut d’Egypte, yang mempunyai empat bagian: Bagian
Ilmu Pasti, Bagian Ilmu Alam, Bagian Ekonomi-Politik dan Bagian Ilmu
Sastra-Seni. Publikasi yangditerbitkan lembaga ini bernama La Decade
Egyptienne. Di samping itu ada lagi suatu majalah, Le Courrier d’Egypte,
yang ditebitkan Marc Auriel. Sebelum kedatangan ekspedisi ini orang Mesir
tidak pernah kenal pada percetakan, majalah atau surat kabar.
Institut d’Egypte boleh dikunjungi orang
Mesir, terutama para ulamanya, yang diharapkan oleh ilmuwan-ilmuwan Praancis
yang bekerja di lembaga itu, akan menambah pengetahuan mereka tentang Mesir,
adat istiadatnya, bahasa dan agamanya. Di sinilah orang-orang Mesir dan umat
Islam buat pertama kali mempunyai kontak langsung dengan peradaban Eropa yang
baru lagi asing bagi mereka itu.
Abd al-Rahman al-Jabarti, seorang ulama
dari al-Azhar dan penulis sejarah, pernah mengunjungi lembaga itu di tahun
1799. Yang menarik perhatiannya ialah perpustakaan besar yang mengandung
buku-buku, bukan hanya dalam bahasa Arab, Persia dan Turki. Di antara ahli-ahli
yang dibawa Napoleon memang terdapat kamum orientalis yang pandai dan mahir
berbahasa Arab. Merekalah yang menerjemahkan perintah dan maklumat-maklumat
Napoleon ke dalam bahasa Arab.
Alat-alat ilmiah, seperti teleskop,
mikroskop, alat-alat untuk percobaan kimiawi, dan sebagainya,
eksperimen-eksperimen yang dilakukan di lembaga itu, kesungguhan orang Prancis
bekerja dan kegemaran mereka pada ilmu-ilmu pengetahuan, semua itu ganjil dan
menakjubkan bagi al-Jabarti.
Kesimpulan tentang kunjungan itu ia
tulis dengan kata-kata berikut: “Saya lihat di sana benda-benda dan percobaan-percobaan
ganjil yang menghasilkan hal-hal besar untuk dapat ditangkap oleh akal seperti
yang ada pada diri kita.”
Demikianlah kesan seorang cendikiawan
Islam waktu itu terhadap kemajuan kebudayaan Barat. Ini menggambarkan betapa
mundurnya umat Islam ketika itu. Keadaan menjadi berbalik 180 derajat. Kalau di
Periode Klasik orang Barat yang kagum melihat kebudayaan dan peradaban Islam,
di Periode Modern kaum Islam yang heran melihat kebudayaan dan kemajuan Barat.
Di samping kemajuan materi ini, Napoleon
juga membawa ide-ide baru yang dihasillkan Revolusi Prancis, seperti ini:
1. Sistem pemerintahan republik yang di dalamnya kepala
negara adi pilih untuk waktu tertentu, tunduk kepada Undang-undang Dasar dan
bisa dijatuhkan oleh parlemen. Sistem ini berlain sama sekali dengan sistem
pemerintahan absolut raja-raja Islam, yang tetap menjadi raja selama ia masih
hidup dan kemudian digantikan oleh anaknya, tidak tunduk kepada konstitusi atau
parlemen, karena konstitusi dan parlemen memang tidak ada dalam sistem kerajaan
itu. Ide yang terkandung dalam kata republik masih sulit ditangkap, dan dengan
demikian mencari terjemahannya ke dalam bahasa Arab sulit pula. Dalam
maklumat-maklumat Napoleon, Republik Prancis diterjemahkan menjadi Al-Jumhur
al-Faransawi. Jumhur sebenarnya berarti orang banyak. Jadi yang tertangkap
dari kata republik ialah publik, orang banyak. Di permulaan abad ke-20 inilah
kelihatannya baru muncul terjemahan yang lebih tepat, yaitu jumhuriah.
2. Ide persamaan (egalite) dalam arti samanya kedudukan
dan turut sertanya rakyat dalam soal pemerintahan. Kalau sebelum ini, rakyat
Mesir tak turut serta dalam pemerintahan negara mereka, Napoleon mendirikan
suatu badan kenegaraan yang terdiri dari ulama-ulama Al-Azhar dan pemuka-pemuka
dalam dunia dagang dari Kairo ke daerah-daerah. Tugas badan ini ialah membuat
undang-undang, memelihara ketertiban umum dan menjadi pengantara antara
penguasa-penguasa Prancis dan rakyat Mesir. Di samping itu didirikan pula suatu
badan bernama Diwan al-Ummah yang dalam waktu-waktu tertentu mengadakan
siding untuk membicarakan hal-hal bersangkutan dengan kepentingan nasional.
Tiap-tiap daerah mengirimkan Sembilan wakil ke Sidang Diwan itu, tiga dari
golongan ulama, tiga dari golongan pedagang, dan satu dari masing-masing
golongan petani, kepala desa dan kepala suku bangsa Arab. Diwan ini mempunyai 180
anggota dan sidang pertama diadakan dari tanggal 5 sampai 20 Oktober 1798.
Putusan yang diambil ialah menganjurkan perubahan peraturan pajak yang
ditetapkan Kerajaan Usmani.
Sistem pemilihan ketua lembaga juga
merupakan hal baru bagi rakyat Mesir. Ketika dari para anggota Diwan diminta
memilih ketua, anggota-anggota menunjuk dan menyebut nama ulama yang mereka
hormati, yaitu Syaikh Al-Syarqawi. Penunjukan serupa ini ditolak oleh penguasa
Prancis sambil menjelaskan cara pengadaan pemilihan.
3. Ide kebangsaan yang terkandung dalam maklumat Napoleon
bahwa orang Prancis merupakan suatu bangsa (nation) dan bahwa kaum
Mamluk adalah orang asing dan datang ke Mesir dari Kaukasus, jadi sungguhpun
orang Islam tetapi berlainan bangsa dengan orang Mesir. Juga maklumat itu
mengandung kata-kata umat Mesir. Bagi orang Islam di waktu itu yang ada
hanyalah umat Islam, dan tiap orang Islam itu adalah saudaranya dan ia tak
begitu sadar akan perbedaan suku dan bangsa. Yang disadarinya ialah perbedaan
agama. Oleh karena itu untuk menerjemahkan kata nation ke dalam bahasa
Arab juga sulit. Kata Arab yang dipakai ialah millah, umpamanya dalam Al-Millah
al-Faransiah untuk ia la nation Francaise. Millah berarti agama.
Kata Arab yang kemudian dipakai untuk nation ialah qaum, sya’b, dan
ummah.
Inilah beberapa dari ide-ide yang dibawa
ekspedisi Napoleon ke Mesir, ide-ide yang pada waktu itu belum mempunyai
pengaruh yang nyata bagi umat Islam di Mesir. Tetapi dalam perkembangan kontak
dengan Barat di abad ke-19 ide-ide itu makin jelas dan kemudian diterima dan
dipraktekkan. Bagaimanapun, ekspedisi Napoleon telah membuka mata umat Islam
Mesir akan kelemahan dan kemunduran mereka.
Langganan:
Komentar (Atom)
Uray%2BShella%2BPransiska.jpg)


