TUGAS KELOMPOK 6
“KERAJAAN MEMPAWAH”
DIAJUKAN UNTUK TUGAS MATA KULIAH SEJARAH
LOKAL
OLEH :
SRI WAHYUNI : 221200094
KHUSNUL
OKTAVIANTI :
221200054
KARNITA
: 221200012
KARMILAWATI
GUSTINA NINGSIH : 221200113
URAY SELA
FRANSISKA : 221200186
TERESIA
HARYATI
: 221200114
KELAS : B SORE
SEMESTER
: 4 (GENAP)

SEKOLAH
TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PERSATUAN GURU REPUBLIK INDONESIA
( STKIP- PGRI ) PONTIANAK
2014/2015
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas
rahmat serta karunia-Nya kami dapat menyelesaikan tugas makalah Sejarah Lokal
ini dengan baik.
Makalah ini berisi tentang Sejarah Lokal yang berjudul Kerajaan
Mempawah yang akan membahas tentang: Kerajaan Bangkule
Rajakng, Sejarah Kerajaan Mempawah, Peninggalan Sejarah Kerajaan Mempawah, dan
Tempat dan Peristiwa Sejarah.
Penyelesaian tugas mata kuliah Sejarah Lokal ini tidak lepas dari
berbagai pihak yang telah membantu penulis dalam pembuatan makalah ini. Untuk
itu kami selaku penulis mengucapkan terima kasih kepada: Ibu
Susi Susanti, M. Pd selaku dosen mata kuliah Sejarah Lokal yang telah memberi
bimbingan dan pengarahan dalam pembuatan makalah ini.
Demikianlah yang dapat kami sampaikan. Kami mohon maaf jika dalam
penulisan makalah ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, kami sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak yang telah
membaca makalah ini.
Akhirnya, semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis maupun pembaca
untuk dapat menambah wawasan kita tentang mata kuliah Sejarah Lokal.
Pontianak, Maret 2014
Penulis
DAFTAR ISI
halaman
KATA PENGANTAR ............................................................................... i
DAFTAR ISI ............................................................................................... ii
BAB I : PENDAHULUAN ........................................................................ 1
A.
Latar Belakang .................................................................................. 1
B.
Rumusan Masalah ............................................................................. 2
C.
Tujuan
Penulisan ............................................................................... 2
D.
Manfaat
Penulisan ............................................................................. 2
BAB II : PEMBAHASAN .......................................................................... 4
A.
Kerajaan Bangkule
Rajakng .............................................................. 4
B.
Sejarah Kerajaan Mempawah ........................................................... 13
C.
Peninggalan
Sejarah Kerajaan Mempawah ...................................... 17
D.
Tempat
dan Peristiwa Sejarah .......................................................... 22
BAB III : PENUTUP .................................................................................. 24
A.
Simpulan ........................................................................................... 24
B.
Saran ................................................................................................. 26
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 27
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Menurut
sejarah, kalimantan Barat merupakan kumpulan- kumpulan kerajaan- kerajaan kecil
yang menyebar ke seluruh wilayahnya. Kerajaan- kerajaan itu antara lain: Kerajaan
Matan
di Ketapang,
Kerajaan Sintang, Kerajaan Mempawah, Kerajaan
Sukadana
dan lain- lain. Kerajaan Mempawah merupakan sebuah kerajaan yang di pimpin oleh
seorang Panembahan, mempunyai sejarah yang menarik untuk diungkapakan.
Pengungkapan
dan pengembangan sejarah kerajaan- kerajaan di Kalimantan Barat sangat penting
artinya sebagai bahan penulisan sejarah yang lebih ilmiah karena selama ini
penulisan- penulisan sejarah yang ada masih bercampur dengan cerita rakyat
ataupun dongeng yang masih perlu dikaji kebenarannya. Hal ini selain bermanfaat
bagi perkembangan ilmu sejarah sendiri juga bermanfaat bagi generasi penerus
untuk memperoleh bukti sejarah yang benar.
Kerajaan-
kerajaan di kalimantan Barat, khususnya Kerajaan
Mempawah
mempunyai sejarah yang menarik untuk di gali guna pelestariannya. Sebagai
sebuah kerajaan yang di pimpin oleh seorang Penembahan
mempunyai luas wilayah yang tidak begitu besar apabila dibandingkan dengan
kerajaan lain seperti Tanjung Pura. Semula kerajaan ini tumbuh dan berkembang
didaerah Mempawah Hulu dan setelah mangalami kemajuaannya yang pesat, pusat
kerajaannya dipindah ke Mempawah Hilir. Kedua pusat pemerintahan tersebut
mempunyai ciri khas masing- masing sehingga dapat dipisahkan menjadi dua masa
pemerintahan. Kerajaan
mempawah mengalami kejayaannya pada masa pemerintahan penambahan Adiwijaya,
dimana kerajaan ini berkembang menjadi sebuah kota perdagangan, baik itu
perdangan antara daerah di sekitarnya maupun daerah- daerah di luar kerajaan.
Hal ini memungkinkan karena kerajaan ini letaknya tidak begitu jauh dari sungai
maupun laut.
Dalam makalah
ini juga diungkapkan sejauh mana perkembangan perdagangan pada masa- masa
tersebut, yang didukung dengan adanya bukti- bukti sejarah yang ada di sekitar
kerajaan. Baik perdagangan yang bersifat
lokal maupun antar daerah lain di luar Kalimantan
Barat
bahkan dengan negara- negara lain.
Keberadaan Kerajaan
Mempawah
terusik dengan kedatangan Belanda di Indonesia, yang menyebabkan timbulnya
permasalahan baru. Sampai kedatangan Jepang,
kekuasaan beralih ke tangan penjajah Jepang.
Dan pada akhirnya bergabung dengan negara Republik Indonesia pada masa setelah
kemerdekaan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka
rumusan masalah yang akan di uraikan ialah:
1.
Bagaimana mengetahui latar belakang Kerajaan
Mempawah yaitu bermula dari Kerajaan Bangkule Rajakng menjadi Kerajaan Mempawah?
2.
Bagaimana sejarah Kerajaan
Mempawah?
3.
Apa-apa saja peninggalan
sejarah Kerajaan
Mempawah?
4.
Dimana tempat
dan peristiwa sejarah di Kerajaan Mempawah?
C.
Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka
tujuan yang ingin di capai penulis ialah:
1. Untuk
mengetahui latar belakang Kerajaan Mempawah yaitu bermula dari Kerajaan
Bangkule Rajakng menjadi Kerajaan Mempawah dan memberikan informasi tentang peristiwa masa lampau sebagai
bahan pendidikan. Terutama untuk meningkatkan dan menyempurnakan kesadaran akan
sejarah bagi generasi muda khususnya, dan masyarakat Kalimantan
Barat pada umumnya.
2. Untuk mengetahui sejarah Kerajaan Mempawah dan membina kesadaran
akan pentingnya arti masa lampau tersebut guna menumbuhkan atau membangkitkan
semangat patriotisme dan nasionalisme, semangat persatuan dan kesatuan, juga
kebanggaan nasional sebagai wujud dari rasa cinta kepada nusa dan bangsa.
3. Untuk mengetahui apa-apa saja peninggalan sejarah Kerajaan Mempawah
dan untuk menanamkan nilai- nilai yang patut dipedomani dan diteladani dari
para tokoh pahlawan kita yang telah gugur dan membuang sifat- sifat yang buruk
dari masa lampau.
4. Untuk mengetahui dimana saja tempat sejarah
yang ada di Kerajaan Mempawah dan untuk mengetahui adat istiadat atau tradisi
yang ada di Kerajaan Mempawah.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Kerajaan
Bangkule Rajakng
Dalam
mengkaji sejarah kerajaan Mempawah terlihat agak unik dibandingkan
dengan kerajaan-kerajaan lain di Kalimantan Barat. Keunikan tersebut selain
sejarah Kerajaan Mempawah
mempunyai dua versi yaitu kerajaan Dayak dan versi Kerajaan waktu diperintah
oleh Daeng Menambon. Tentunya keduanya mempunyai tata cara pemerintahan yang
berbeda, disatu pihak masih terikat oleh adat istiadat yang kuat dan dilain
pihak menganut hukum islam dan hukum adat tempat ia berasal. Maka timbullah cerita
yang menyatakan bahwa cikal bikal Kerajaan
Mempawah adalah kerajaan Dayak “Bangkule Rajakng”. Disebut cerita karena
disampaikan dari mulut kemulut, dan sampai sekarang masih sulit dibuktikan
kebenarannya.
Dalam buku yang dikarang oleh Mohd.
Yusuf Sahar disebutkan bahwa kerajaan yang pertama di Mempawah adalah sebuah
kerajaan yang di pimpin oleh seorang raja Dayak yang bernama Ne’Rumaga dengan
pusat pemerintahannya berkedudukan di Bahana kira-kira pada abad-16. Dalam
sumber lain yaitu Sejarah Hukum Adat dan Istiadat Kalimantan Barat yang
dikarang oleh J. U Lontaan disebutkan bahwa raja yang pertama adalah Patih
Gumantar berkeudukan di pegunungan Sidiniang daerah sangking Mempawah Hulu.
Sebenarnya dalam kedua sumber tersebut, disebut-sebut nama Patih Gumantar
sebagai raja.
Tetapi, hanya dalam buku Mohd. Yusuf
disebutkan raja sebelum Patih Gumantar yaitu Ne’Rumaga tersebut. Keduanya juga
menyebutkan adanya raja setelah Patih Gumantar yaitu Panembahan Senggaok. Pada
masa ini terjadi peralihan kekuasaan dari kerajaan tradisional yaitu kerajaan
Dayak kepada kerajaan yang di pegang oleh raja dari suku lain dengan segala
tata cara pemerintahan baru.
Dan pada pemerintahan baru inilah kerajaan
Mempawah mengalami perkembangan.
Dari
beberapa cerita menyebutkan bahwa Patih Gumantar adalah seorang raja yang gagah berani
beristrikan Dara Irang dan mempunyai beberapa anak yaitu Patih Nyabakng, Patih
Janakng dan Dara Itam. Kematian Patih Gumantar menurut sumber Mempawah dan
Landak adalah Dikayau (dipenggal
kepalanya) oleh suku Biaju dekat Sungkung Serawak. Perang Kayau-Mengayau memang
sudah menjadi kebiasaan pada jaman itu, dengan
melancarkan perang secara mendadak dan kemudian mengayau kepala rajanya.
Pengganti Patih Gumantar dari beberapa
sumber cerita menyebutkan berlainan, satu sumber menyatakan anaknya yang
bernama Patih Nyabakng dan sumber lain menyebutkan raja Kudung/Kodong yang di
panggil rakyat “Panembahan yang tidak berpusat” kira-kira memerintah pada tahun
1610, tidak mempunyai hubungan dengan Patih Gumantar. Setelah itu pemerintahan
dipegang oleh Panembahan Senggaok
yang menikah dengan seorang puteri
anak Raja Qahar berasal dari Baturijal Indragiri Sumatera yang bernama Puteri
Cermin. Dari istrinya ini yang bergelar Ratu Panembahan Puteri Cermin,
Panembahan Senggaok memperoleh anak perempuan bernama Mas Indrawati yang
sebelumnya telah diramalkan oleh seorang ahli nujum bahwa apabila anaknya
seorang perempuan. Maka, kerajaan Bangkule Rajakng akan berakhir dan pindah
kepada Raja suku lain.
Maka ketika usia Mas Indrawati sudah
cukup untuk berumah tangga dilamarlah ia oleh anak seorang Raja di Sambas, akan
tetapi rupanya tidak berjodoh melainkan ia menikah
dengan
Sultan Mohammad Zainuddin, Sultan
kerajaan Matra Sukadana. Dari hasil perkawinan ini lahir anak perempuan lagi
yang diberi nama Puteri Kesumba. Dari keterununan Panembahan Senggaok inilah
terjadi perubahan, dimana Puteri Kesumba menjadi isteri Opu Daeng Menambon dan
kemudian menggantikan kakeknya menjadi Raja di Mempawah.
1.
Asal-Usul Opu Daeng
Menambon
Dikisahkan Daeng Menambon adalah
seorang keturunan dari kerajaan Luwu di Sulawesi. Dia pergi merantau dengan
disertai oleh saudaranya dan ayah kandungnya yang bernama Opu Tandre Borong
Daeng Rilekke. Perantauan mereka untuk pertama kalinya sampailah ke Betawi,
menemui adik Opu Tandre Borong Daeng Rilekke bernama Daeng Biasa yang menetap
di Betawi menjadi kepala dari orang-orang Bugis yang ada disana. Opu Tandre
Borong Daeng Rilekke bersama-sama dengan anak-anaknya yaitu Opu Daeng Perani,
Opu Daeng Menambon, Opu Daeng Marewah, Opu Daeng Cela’ dan Opu Daeng Kemasih
melanjutkan perantauannya singgah ke Pulau Siantan yang pada waktu itu dipimpin
oleh Nahkoda Elang yang berasal dari Bugis juga. Nama aslinya adalah Keling
Abdul Fattah anak dari Raja
Bone dan mempunyai isteri bernama Daeng Fatinah.
Untuk mempererat tali persaudaraan
di antara mereka, maka Opu Daeng Perani kawin dengan anak Nahkoda Elang dan
dari hasil perkawinan ini ia memperoleh anak laki-laki yang diberi nama Daeng
Kamboja. Nama itu diberikan sebagai kenangan waktu mereka melawati ke Kamboja. Sekembalinya mereka
dari Perlawatan ke Kamboja inilah Ayahanda Opu Daeng Menambon meninggal dunia
di Pulau Siantan. Kemudian Daeng Perani memperoleh anak lagi seorang perempuan
dan diberi nama Daeng Tijah. Perjalanan dilanjutkan lagi, dari Siantan mereka berlayar
ke Riau, Matan sukadana, Selangor (Malaysia), dan lain-lain. Opu Daeng Perani
mendapat gelar Perajurit Agong Daeng Sastra Johan Pahlawan
sedangkan anaknya Daeng Kamboja menjadi Sultan
Alaudiansyah Yang
Dipertuan Muda III Kerajaan Riau (1740-1777). Kemudian Daeng
Perani pun menikah lagi dengan anak Raja Selangor pada waktu mereka berlayar
kesana, hal itu terjadi setelah perantauan mereka ke Sukadana atas permintaan
Sultan Muhammad Zainuddin.
Opu Daeng Marewah diangkat menjadi Yang Tuan Muda Kerajaan Riau I dengan
gelar Kelana Jaya Putera , Sultan Alaudiansyah I Yang Dipertuan Muda I sedang Opu Daeng Cela digelar Opu Daeng Pali, Beliau menjadi Sultan Alaudiansyah II Yang Dipertuan Riau
Muda II. Daeng Menambon menikah
dengan anak Sultan Muhammad Zainuddin
dan akhirnya menjadi Panembahan di Mempawah. Yang terakhir Opu Daeng Kemasih menikah dengan anak Sultan
Sambas yang bernama Uray Tengah, dan memperoleh gelar Pangeran Mangkubummi. Begitu juga dengan kelima bersaudara
tersebut, dengan kepandaiannya dalam pelayaran maka mereka menguasai laut,
pergi kemana mereka suka,
dan seklaigus memperkenalkan adat-istiadat
dan agama mereka kepada penduduk setempat. Selain itu mereka pun pandai dalam
masalah tata pemerintahan dan strategis perang.
Di dalam buku “Tuhfat Al-Nafis”
karangan dari Al-Makhum Raja Ali Al-Haji Riau yang diterbitkan oleh Malaysia
Publication Ltd di Singapura tahun 1965, disebutkan bahwa Daeng Menambon adalah
Opu Tandari Borong Daeng Rilak yang
ditulis oleh Mohd. Yusuf Sahar sebagai Opu Tandre Borong Daeng Rilekke. Opu
Daeng Rilekke mempunyai ayah bernama La Madusalat yang diidentifikasi sebagai
La Madusila dan disebut oleh Tuhfat Al-nafis sebagai Raja Luwu dan leluhur
raja-raja Luwu dari soppeng menjadi raja pertama yang beragama Islam.
Menurut Andi Zainal Abidin bahwa
raja Bugis Makassar yang pertama masuk Islam adalah La Pati Ware Daeng
Parabbung yang diislamkan oleh Datuk Sulaiman, seorang alim ulama yang dikirim
oleh Sultan Johor. Jadi kemungkinan besar nama La Madusilat yang disebut dalam
Tuhfat Al-nafis ialah La Pati Ware Daeng Parubbung alias La Patiarase, yang
pada tahun 1603 memeluk agama Islam di Sulawesi Selatan. Lebih masuk akal kalau
beliau adalah ayah dari Opu Tenri Borong Daeng Ri Lekke. Jadi ayah Daeng
Manambon yang berkelana ke Kalimantan Barat bersama-sama dengan saudaranya Daeng Kamase.
2. Pemerintahan
Kerajaan Sebukit
Seperti telah disebutkan bahwa pada
waktu Opu Daeng Manambon bersama-sama saudaranya berada di pulau Siantan,
mereka memperoleh surat dari sultan Muhammad Zainuddin dari Kerajaan Matan yang
isinya adalah memohon pertolongan kepada Opu Lima bersaudara untuk merebut
kembali Kerajaan Matan dari tangan Pangeran Agung adiknya yang telah merampas
kekuasaan dari Sultan Muhammad Zainuddin. Maka berangkatlah ke lima bersaudara
tersebut ke Sukadana, untuk bertemu Sultan Zainuddin. Pertemuan mereka terjadi
di dalam sebuah Masjid Agung dimana Sultan Muhammmad Zainuddin menyelamatkan
diri, sedangkan seluruh keluarganya sudah berada di kota Waringin.
Kedatangan Opu lima bersaudara
memberikan harapan bagi Sultan Zainuddin untuk dapat merebut kembali kerajaan.
Ternyata dengan tidak menemui kesulitan Opu lima bersaudara dapat mengembalikan
tahta Kerajaan Matan kepada Sultan Zainuddin. Dimana Opu lima bersaudara harus berhadapan
dahulu dengan kerabatnya yang juga berasal dari Bugis yaitu Daeng Mataku dan
Haji Hafiz. Dan akhirnya atas kebijaksanaan Opu Daeng Manambon, mereka disuruh pergi ke
Siak membawa perahu yang ada
sebuah Meriam, pasangan si Gondah milik Daeng Menambon.
Seperti biasa suatu kerajaan
melakukan perkawinan politik, selain bertujuan sebagai pengikat tali
persaudaraan juga untuk mempertahankan kekuasaannya. Begitupun dengan
perkawinan Opu Daeng Menambon dengan anak Sultan Zainuddin yang bernama Putri Kesumba yang juga
cucu dari Panembahan Seanggaok dari kerajaan Mempawah. Maka dengan terjadinya
perkawinan tersebut Opu Daeng
Menambon dengan sendirinya masuk dalam keluarga Kerajaan Matan maupun Kerajaan Mempawah.
Dengan gelar Pangeran Mas Surya Negara, sedagkan isterinya Puteri Kesumba
bergelar Ratu Agung Si Nuhun. Setelah kurang lebih
tiga tahun Opu Daeng
Menambon menikah, Sultan
Muhammad Zainuddin meninggal dunia dan digantikan oleh Pangeran Mangkurat anak
Sultan Muhammad Zainuddin dengan isteri lain.
Maka Daeng Menambon sesuai dengan anjuran
keluarganya untuk pulang ke Senggaok yang telah mangkat dan dimakamkan di
Senggaok. Setelah Panembahan Senggaok mangkat untuk sementara kerajaan
Bangkule Rajkng dijabat oleh Pangeran
Adipati yang beribukota di Pinang Sekayu. Menurut Sejarah Melayu Bugis Raja Ali
Haji Opu Daeng Menambon hijrah dari Matan ke Sebukit pada kira-kira tahun 1148 H (1737
M) dan disini juga disebut-sebut nama Kerajaan Mempawah, yang sebenarnya dahulu
belum ada nama Mempawah, yang ada nama Kerajaan Bangkule Rajakng. Sumber lain
menuliskan tahun 1747 M sebagai tahun hijrah Daeng Menambon ke Sebukit yaitu
dalam buku karangan Mohd. Jusuf Sahar. Selanjutnya mereka di sebukit, Puteri Cermin dan Ratu Sultan
Mas Indrawati pergi ke Pinang Sekayu.
Untuk menerima penyerahan kekuasaan, kemudian mereka kembali
ke Sebukit untuk menyerahkan kekuasaan kerajaan Bangkule Rajakng ke tangan
Puteri Kesumba Ratu Agung
Sinuhun beserta suaminya Opu Daeng Menambon Pangeran Mas Surya Negara sebagai
“Pejabat Raja dalam Kerajaan Bangkule Rajakng” dan beribu kota di Sebukit. Pemerintahan Pangeran
Mas Surya Negara di Sebukit berlangsung kira-kira pada tahun 1737 M-1761 M.
Sebukit yang sekarang disebut Sebukit Rama mengalami perbedaan pada saat Patih
Gumantar menjadi Raja pada saat pemerintahan Daeng Menambon.
Kalau waktu Patih Gumantar menjadi
penguasa sistem pemerintahan bersumber pada hukum adat masyarakat setempat,
yaitu hukum adat Dayak. Tetapi setelah Daeng Menambon memegang kekuasaan
mengalami perubahan selain masih menggunakann hukum adat setempat juga memakai
hukum Syara agama Islam, juga diimbangi oleh hukum Siri yaitu hukum Sulawesi. Selain
perbedaan dalam hal hukum, pada masa pemerintahan Opu Daeng Menambon dilengkapi
juga dengan sistem birokrasi Bahtera, Perahu atau Kapal yang dilengkapi dengan
staf-stafnya, seolah-olah seperti kerajaan di laut.
Yang
di dalamnya dilengkapi dengan para menteri bergelar Datuk Laksamana, Datuk
Kiayai Dalam, Datuk Malem, Datuk Pembekal, Datik Petinggi dan Datuk Bendahara.
Pada masa pemerintahan Opu Daeng Manembon inilah agama islam dikembangkan di
Mempawah dan sekitarnya. Penyebaran Islam dilanjutkan oleh anaknya Daeng
Menambon yang bernama Gusti Jemiril bergelar Panembahan Adiwijaya, dalam buku
Mohd. Jusuf Sahar dan dalam tulisan Raja Ali Haji dituliskan sebagai Panembahan
Adiwijaya Kesumajaya. Opu
Daeng Menambon meninggal pada tanggal 26 Safar tahun 1175 H/1761 M dimakamkan
di Sebukit. Puteri Kesumba Ratu Agung Sinuhun meninggal pada bulan Sapar tahun
1185 H
dimakamkan di kampung Pedalaman Mempawah Hilir.
Pemindahan Keraton dari Sebukit ke Mempawah belum ada
keterangan secara jelas. Hanya menurut adat tradisi, pendirian keraton baru
dimulai setelah masa berkabung para keluarga raja selama empat puluh hari empat
puluh malam. Maka bila dihitung dari tanggal dikebumikannya Opu Daeng Menambon
yaitu tanggal 27 Sapar tahun 1761 M, akan diperoleh pada hari ke empat puluh
satu yaitu baru dimulai pembangunan
keraton selama enam puluh hari, dan pada hari ke seratus dimulai pemindahan
kerajaan yaitu pada tahun 1761 M. Nama baru untuk kerajaan ini oleh Penembahan
Adiwijaya Kesuma dinamakan Kerajaan Mempawah, berasal dari buah asam pauh
atau mempelam pauh, ada juga yang mengatakan Nam’pawa bahasa cina
yang artinya arah selatan. Jadi setelah Opu Daeng Menambon maka hilanglah
Kerajaan Bangkule Rajakng dan Kerajaan Sebukit, muncul nama Kerajaan Mempawah
tahun 1761.
3.
Asal-usul Al
Habib Husin Alqadri
Al Habib
Alqadri adalah seorang penyebar agama Islam dari
negeri Timur atau Arab. Berlayar bersama-sama dengan teman seperguruannya
menuju ke Aceh, yang pada waktu itu beliau berumur 18 tahun. Adapun Al Habib
Alqadri yang terdahulu bernama Sayid Husin Alqadri berlayar ke Betawi kemudian
ke Semarang dan akhirnya menyeberang ke Matan Sukadana. Di Matan
karena kepandaiannya dalam bidang agama oleh Sultan Zainuddin diangkat menjadi
Mufti dan dimuliakan dengan gelar Al Habin. Kemudian dikawinkan dengan Puteri
Matan yang sering disebut dengan Nyai Tua dan melahirkan seorang anak laki-laki
bernama Syarif Abdurrahman bin Al Habib Husin Alqadri yang nantinya menjadi
pendiri kota Pontianak, lahir tahun 1101 H.
Dikarenakan Al
Habib Husin Alqadri yang telah mengabdi di Kerajaan Matan selama 17 tahun,
pergi meninggalkan Matan menuju ke Mempawah dimana beberapa tahun sebelumnya
Opu Daeng Menambon telah meminta kepada beliau untuk tinggal bersamanya. Hijrah
Al Habib Husin Alqadri pada tanggal 8 Muharam tahun 1172 H atau ± 1758 M,
disambut baik oleh Opu Daeng Menambon dengan mempersiapkan segala sesuatu yang
dipesankan yaitu antara lain membuat dua buah bangunan rumah yang letaknya
tidak berjauhan, satu berfungsi sebagai surau atau masjid dan satunya lagi
tempat tinggal Al Habib Husin dengan
keluarganya.
Sejak itulah
orang-orang berduyun-duyun datang untuk belajar dan menuntut ilmu di
tempat beliau. Karena
disepanjang sungai menuju rumah beliau banyak terpancang galah perahu
orang-orang tersebut maka tempat itu dinamakan Galah Orang, yang sekarang lebih
dikenal dengan Galaherang. Sultan Syarif Abdurrahman pada waktu mengikuti
hijrah ke Mempawah berumur 16 tahun dan setelah genap berumur 18 tahun oleh
ayahnya dinikahkan dengan Puteri Opu Daeng Menambon yang bernama Utin Candramidi.
Perkawinan diantara Syarif Abdurrachman dengan Utin Candramidi melahirkan
seorang anak yaitu Sultan Kasim bin Sultan Syarif Abdul Rahman Alqadri. Karena
kesenangan Syarif Abdul Rahman berlayar ke tempat-tempat yang jauh seperti ke
Pulau Tambelan, Pulau Siantan, Riau, dan lain-lain. Maka pada waktu
ayahnya meninggal pada tahun 1184 H dia tidak berada ditempat dan beliau
dimakamkan di Galaherang Mempawah.
B.
Sejarah
Kerajaan Mempawah
Pada waktu Opu
Daeng Menambon meninggal dunia, maka tahta kerajaan diserahkan kepada anaknya
Gusti Jemiril yang bergelar Penembahan Adiwijaya Kesumajaya. Pusat kerajaannya
berpindah dari Sebukit ke Mempawah atau tepatnya di Pulau Pedalaman. Maka mulai
saat itu tahun 1761 M dan sampai saat kurun waktu berikutnya nama Kerajaan
Bangkule Rajakng telah berganti dengan Kerajaan Mempawah.
Penembahan
Adiwijaya Kesumajaya beristrikan Daeng Kelola putera dari Daeng Biasa yang
menetap di Betawi, merupakan saudara dari kakeknya yaitu Opu Tandre Borong
Daeng Rilekke. Perkawinan ini memperoleh tiga orang anak yaitu:
1. Gusti Muhammad Zainal Abidin, nama kecilnya Gusti Jati yang kemudian
bergelar Sultan Muhammad Zainal Abidin.
2.
Gusti
Mas, bergelar Pangeran Panglima.
3.
Utin
Ratnadi.
Pada masa
pemerintahan Penembahan Adiwijaya ini mempawah lebih terkenal dan merupakan
sebuah Bandar dagang yang ramai baik dari dalam maupun dari luar daerah. Dan
mempunyai luas wilayah yang makin lebar, pada waktu masa pemerintahan Opu Daeng
Menambon hanya 5 binua (daerah) bertambah menjadi 14 daerah. Setiap
daerah ini wajib menyerahkan cukai kepada Datuk Pembekal yang mengutus wakil-wakil
untuk menanganinya. Sebagai bukti
bahwa Kerajaan Mempawah merupakan Bandar dagang yang ramai adalah dipakainya nama-nama
seperti Lubuk Batang, Lubuk Sauh dan
lain sebagainya. Kapal-kapal itu dikatakan dari daerah-daerah yang jauh seperti
Makassar, Siantan (Sumatera), Banjar, orang-orang Tambi dan Brunai.
Mereka menetap
disitu untuk berguru kepada Al Habib Husin. Hal ini dibuktikan dengan adanya
nama-nama kampung yang ada di sekitar kerajaan yang disesuaikan dengan suku
yang mendiami. Seperti Kampung Bugis, Kampung Banjar, Kampung Tambi, Kampung
Bayan, Kampung Siantan dan lain-lain. Melihat
nama-nama dari pada ketua daerah yang menjadi daerah kekuasaan Penembahan
Adiwijaya masih banyak yang menggunakan nama-nama Dayak, kemungkinan pengaruh
Islam belum kuat masuk ke daerah-daerah tersebut. Mungkin penyebaran Islam baru
mencapai lapisan masyarakat daerah sekitar kerajaan yang letaknya tidak begitu
jauh dengan pusat kerajaan dan para pendatang yang sengaja datang untuk belajar
agama.
Namun begitu
kerukunan masih terjalin dengan baik meskipun Rajanya mempunyai kepercayaan
yang berlainan, hal itu kemungkinan disebabkan karena mereka masih menghormati
sumpah nenek moyang mereka dengan Opu Daeng Menambon. Kerukunan ini terlihat
pada saat Penembahan Adiwijaya hijrah ke Sunga (Karangan) karena terdesak oleh
Belanda yang pada saat itu telah menguasai Mempawah. Peristiwa ini terjadi pada
tahun 1201 H atau 1787 M ditandai sebagai tahun hijrah Penembahan Adiwijaya ke
Sungan, setelah 26 tahun berkuasa di Kerajaan Mempawah. Peristiwa itu bermula
dari kedatangan Belanda ke Mempawah dibawah pimpinan seorang Mayor Besar
Belanda bernama “Ambral” dan seorang Kaptennya bernama “Salpit-sir”.
Ketika
kapal-kapal Belanda masih berada di Kuala Mempawah, Mayor Ambral diperkenankan
oleh Penambahan Adiwijaya untuk mengadakan pembicaraan dengan syarat harus
datang sendiri ke istana ke istana kerajaan di Pulau Pedalaman. Namun pada
kenyataannya Ambral tidak datang seorang diri tetapi dengan kapal beserta
pasukannya. Maka terjadilah tembak-menembak diantara keduannya sehingga
menimbulkan korban di kedua belah pihak.
Untuk mencegah
terjadinya pertumpahan darah yang semakin banyak akhirnya Penembahan Adiwijaya
mengundurkan diri hijrah ke Sungan mengatur siasat perang bersama-sama dengan
Panglima Tan Kapi. Kedatangannya
di Sungan disambut dengan gembira oleh rakyatnya, maka berdatanglah ke 14
kepala-kepala daerah dengan menghantarkan makan, hasil bumi dan hasil
buruannya. Banyak hal yang di Sungan semasa Penembahan Adiwijaya hijrah ke
sini, antara lain bergantinya nama dari Sungan menjadi Karangan sebab tempat
ini dipakai untuk ngarang (menyusun) adat yang telah disetuhui bersama oleh ke
14 daerah, ketua-ketua pemegang adat, kepala kampong maupun Bide-Bide. Selanjutnya
hukum adat ini disalin ditempat lain yang sekarang lebih dikenal dengan
Menjalin.
Selain hal
tersebut diatas saat itu juga terjadi penyumpahan untuk kedua kalinya, yang
pertama oleh Opu Daeng Menambon di Pinang Sekayu ± tahun 1738 dan kedua oleh
Penembahan Adiwijaya di Lubuk Gundul ± tahun 1787 yang isinya “Mengaku Setia
Kepada Raja Turunan Patih Gumantar Turun-temurun”. Penembahan
Adiwijaya Kesumajaya meninggal dunia pada tahun 1204 H, yang menjadi
permasalahan sekarang adalah adanya dua buah kuburan yang diakui menjadi makam
beliau yaitu di Karangan dan di Pulau Pedalaman. Tetapi sebagian besar
keturunan Beliau tetap mengaku bahwa makam di Karangan itulah yang benar. Pada
saat meninggalnya Beliau meninggalkan 9 orang anak, yaitu dari isteri pertama
Daeng Kelola memperoleh seorang putera bernama Gusti Jati bergelar Pangeran
Anom. Kemudian
menjadi Raja bergelar Penembahan Surya Negara. Oleh G.G. Van Der Capelen
diberi gelar Sultan Muhammad Zainal Abidin. Sedangkan dari isteri kedua
yaitu adil Daeng Kelola bernama Daeng Laila mempunyai anak Gusti Amir, menjadi
raja menggantikan Sultan Muhammad Zainal Abidin menjadi Raja Mempawah dengan
gelar “Penembahan Adinata Krama Umar Kamaruddin”.
Pada saat
Penembahan Adiwijaya meninggalkan Mempawah menuju ke Karangan, oleh Belanda
diangkatlah Syarit Kasim anak Sultan Syarif Abdurrachman atau anak kemanakan
Penembahan Adiwijaya, menjadi raja mempawah. Syarif Kasim bergelar Penembahan
Syarif Kasim memerintah Kerajaan Mempawah hanya sebentar karena ia harus menggantikan
kedudukan ayahnya di Kerajaan Pontianak. Maka Kerajaan Mempawah digantikan oleh
adiknya Syarif Husin bin Sultan Syarif Abdurrachman Alqadri.
Gusti Amir yang
bergelar Penembahan Adinanta Krama Umar Kamaruddin merupakan Penembahan ketiga
keturunan Daeng Menambon yang memerintah tahun 1243 H - 1269 H atau 1828 M –
1853 M. Setelah Gusti Amir meninggal digantikan oleh puteranya bernama Gusti
Mu’min bergelar Penembahan Mu’min Nata Jaya Kesuma, memerintah hanya
sehari sebab keburu meninggal dunia. Kedudukan raja digantikan oleh adiknya
bernama Gusti Mahmud yang bergelar Penembahan Muda Mahmud Alauddin memerintah
tahun 1855 M – 1860 M. Dengan meninggalnya Gusti Mahmud, Kerajaan Mempawah
dipegang oleh Penembahan Usman yaitu anak dari Penembahan Mu’min Nata Jaya
Kesuma yang bergelar Penembahan Usman Mu’min Nata Jaya Kesuma. Setelah
Penembahan Usman mangkat maka anak Penembahan Mahmud yang bernama Gusti Ibrahim
bergelar Penembahan Ibrahim Muhammad Syafiuddin menggantikan menjadi
Raja.
Tidak ada
seorangpun keturunan raja atau orang tua-tua yang dapat menjelaskan bagaimana
bentuk dari Keraton Penembahan Adiwijaya pada waktu itu, sedangkan nama keraton
yang didirikan oleh Penembahan Ibrahim Mohammad Syafiuddin yang bertuliskan
huruf Arab “Amantu Billah” yang artinya
“ Percaya Kepada Tuhan”. Namun keraton Amantu Billah yang didirikan oleh
Penembahan Ibrahim lain dengan keraton Amantu Billah yang ada sekarang
didirikan pada tahun 1922 pada masa Penembahan Mohammad Taufik Akhmaddin, anak
dari Gusti Ibrahim.
Akan tetapi
tidak menutup kemungkinan keraton yang ada sekarang ini adalah hasil renovasi
dari keraton Penambahan Ibrahim, atau mungkin juga mendirikan keraton baru
diatas keraton yang lama dan tetap menggunakan nama Amantu Billah. Pada waktu
Gusti Ibrahim wafat, putera mahkota yaitu Gusti Mohammad Tauifik masih kecil
belum cukup umur untuk dinobatkan menjadi raja. Maka sebagai wakil diangkatlah
Gusti Intan sebagai raja bergelar Pangeran Anom Kesuma Yuda. Memerintah
dari tahun 1310 H – 1320 H atau 1892 M – 1902 M. Pada
tanggal 16 Agustus 1902 diangkatlah Gusti Taufik menjadi Penembahan, bergelar Penembahan
Mohammad Taufik Akamaddin. Beliau beristerikan Ratu Mutiara anak Raja
Sambas, dikaruniai dua orang anak yaitu Utin Ketumbar dan Pangeran Ukar.
Keduanya meninggal pada usia yang masih muda.
Kemudian Gusti
Mohammad menikah lagi dengan Encek Kamariyah bergelar Ratu Mas Sri Utama, anak
dari Mohammad Thaha. Setelah selama 41 tahun memerintah Kerajaan Mempawah,
datanglah bangsa Jepang ke Mempawah. Pada waktu pendudukan Jepang inilah
terjadi pembataian para raja, dan kaum intelektual serta tokoh-tokoh masyarakat, yang semua mayatnya
dimakamkan di makam Jaung Mandor. Salah satunya tokoh Raja yang diculik dan
dibantai yaitu Penembahan Mohammad Taufiq dan sampai sekarang belum diketahui
secara jelas makamnya. Beliau meninggal dalam usia 63 tahun dan meninggalkan
tiga orang anak laki-laki yaitu:
1.
Pangeran
Muhammad (Drs Jimmy Muhammad Ibrahim)
2.
Pangeran
Faisal
3.
Pangeran
Taufikijah
C.
Peninggalan
Sejarah Kerajaan
Mempawah
1. Bekas
Keraton Mempawah
Keraton mempawah yang ada sekarang ini
bernama keraton Amantu Billah
yang artinya ‘Percaya Kepada Tuhan’. Keraton ini didirikan pada tanggal 2
November 1992 oleh penembahan Muhammad Tufik Akamaddin, yang terletak di
kelurahan kampung pulai pedalaman. Keraton yang tak berapa luas ini masih
dihuni oleh kaum kerabat keraton, yang terbagi atas beberapa ruangan. Bangunan
keraton itu sendiri dibagaian depan terdapat teras atau balai. Sedangakan
dibagian dalam terdapat ruang singgasana yang berisi dengan barang- barang
peninggalan keraton antara lain kursi singgasana yaitu tempat duduk raja atau
penembahan bersama dengan isterinya. Disamping itu terdapat terdapat tombak
pengawal sebanyak enam buah, tombak upacara dua buah, beserta dengan payung
kebesaran raja yang sudah tidak dapat dipakai lagi.
Selain itu terdapat banyak foto keluarga
antara lain foto penembahan Akkamaddin, panambahan ibrahim, foto para isteri
dan keluarga, juga foto Presiden Belanda pada saat mengunjungi Keraton Mempawah. Juga piagam-
piagam penghargaan yang diberikan Presiden
Belanda kepada panambahan Mohammad Taufik Akkamaddin. Selain itu dalam
singgasana juga tersimpan macam- macam keris, keramik. Ruang lain berisi
meriam dan tembok. Meriam ini adalah meriam yang dibawa oleh Opu Daeng Menambon
ke Kalimantan Barat bernama Si Gondah, sedangkan meriam pasangan barunya
bernama Raden Mas. Sebenarnya Si Gondah ada sepasang, namun pada saat
menurunkan meriam tersebut, meriam yang satunya tidak diturukan ikut terbawa
Daeng Mataku ke Siak, sampai
sekarang disimpan dikeraton Siak.
Selain Daeng Menambon masih banyak lagi meriam- meriam
yang letak di halaman depan dan diteras semua berjumlah 10 buah. Selain ruang- ruang
yang telah disebutkan diatas terdapat ruang senenan atau gamelan. Senenan ini
berfungsi sebagai pelengkap dalam suatu upacara yaitu sebagai alat peniging.
Keadaan
senenan masih tampak bagus dan terawat baik. Ruang- ruang lain seperti ruang
tidur panembahan dan keluargannya, sampai sekarang masih dihuni oleh para
kerabatnya.
2. Makam
Raja- Raja Mempawah
a. Makam
Opu Daeng Menambon Di Sebukit
Makam Opu Daeng Menambon terletak
di Sebukit Rama, Desa
Pasiran kecamatan Mempawah Hilir.
Selain
makam Daeng Menambon,
juga terdapat makam
Gusti panembahan Haji Syech
Mohammad Saleh
yang letaknya berdampingan.
Isteri Opu Daeng Menambon Ratu Kesumba baru meninggal pada tahun 1185 H atau
±tahun 1771 M. Masyarakat setempat menganggap makan Opu Daeng Menambon keramat
sehingga kebanyakan orang yang datang mengunjungi makam tersebut mempunyai
tujuan- tujuan tertentu, bahkan ada yang sampai yang bersemedi di tempat tersebut
agar cita- citanya akan tercapai.
b.
Makam Raja- raja Dipulau Pedalaman
Di
tempat ini akan ditemui makam-makam
yaitu:
1)
Makam Ratu
Kesumba yang bergelar
Ratu Agung Sinuhun, wafat pada bulan sapar tahun 1185 H atau ± tahun 1771 M.
2)
Makam Gusti
Jati atau Panembahan Surya Nata Kesuma Memerintah pada
tahun 1816 M – 1826 M atau 1228 H- 1241 H. Beliau wafat dimakamkan dikomplek
pemakamkan raja- raja mempawah.
3)
Makam Gusti Amir bergelar Penembahan Adinata Krama
Umar kkamaruddin. Memerintah pada tahun 1243 H- 1264 H atau 1828 M- 1853 M.
4)
Makam Gusti
Mu’min, yang bergelar Penambahan
Mukmin Nata Jaya Kesuma atau lebih dikenal
dengan Pangeran Daeng. Yang memerintah Kerajaan Mempawah pada tahun 1853
M- 1855 M.
5)
Makam Gusti
mahmud dengan gelar Pangeran Suta Negara atau Panembahan Muda Mahmud Akamaddin
memerintah tahun 1855 m dan wafat pada tahun 1860 M.
6)
Makam Gusti
Usman bergelar Penambahan
Usman Nata jaya Kesuma. Beliau wafat pada tahun 1864 M.
7)
Makam Gusti
ibrahim yang mempunyai gelar Pangeran
Kesuma Agung atau Penembahan Ibrahim
Mohammad Syaifuddin. Beliau wafat pada tahun 1892 M, dimakamkan dalam ruang tersendiri yang
kelihatan terawat bersih dan rapi.
8)
Makam Gusti
intan memerintah dari tahun 1310 H – 1320 H atau 1892 M.
9) Makam Gusti Mohammad Taufik dengan gelar Panembahan Mohammad
Taufik Akamaddin. Beliau memerintah pada tanggal 16 Agustus tahun 1902. Pada
waktu Jepang di Mempawah, Panembahan Mohammad Taufik merupakan salah satu dari
beberapa tokoh dan raja- raja yang diculik oleh Jepang, yang sampai sekarang tidak
diketahui secara pasti dimana makamnya. Peristiwa itu terkenal dengan nama Peristiwa Mandor.
10) Makam Encik Kamarilah yang bergelar
Ratu Adinegara juga dikuburkan dikomplek makam raja- raja Mempawah di kampung
pedalaman.
c. Makam
Panembahan Adiwijaya Di Karangan
Masuknya
Belanda ke kerajaan mempawah menyebabkan pemerintahan Adiwijaya harus pergi dan
mengungsi di Karangan. Banyak hal yang diperbuat Panembahan
Adiwijaya, salah satunya adalah mengubah
nama Sungai menjadi Karangan.
Sebelum menghembuskan
nafasnya yang terakhir beliau pernah berpesan bahwa ia tidak rela jenazahnya
dibawa ke mempawah. Beliau
wafat pada bulan zulqaedah tahun
1294 H atau 1767 M. Beliau dimakamkan bersama- sama dengan kerabatnya yang
masih ada keturunan darah dengan beliau.
d. Makam
Tiga Bersaudara
Makam
tiga bersaudara yaitu Tan Unus, Tan Baiduri, Tan Kapi terletak di Karangan, kecamatan Mempawah Hulu Kabupaten Pontianak. Menurut
sumber yang diperoleh dikatakan bahwa ketiga berasal dari Madras yang sekarang
disebut orang Brunei Darusalam. Ketiga bersaudara ini dimakamkan berdekaan satu
sama lain. Keadaan makamnya sendiri belum banyak mengalami perubahan dari dulu sampai
sekarang hanya dibatasi oleh batu nisan terbuat dari batu dicet berwarna
kuning. Makam tersebut berada di tengah- tengah hutan yang dikelilingi oleh
pohon- pohon yang besar.
e. Makam
Al Habib Husin
Makam
ini terletak di desa Sejegi
Kecamatan Mempawah Hilir dan sekitar
1 km jaraknya dari pusat Kota
Mempawah. Habib Husin
mula- mula bernama As sayid Husin Al Qadri yang karena kepandaian dan tinggi
ilmunya dalam bidang agama maka oleh masyarakat dimuliakan dengan panggilan Al
Habib. Hari rabu 3 Dzulhijah tahun
1184 H atau 1770 M habib husin wafat dalam usia ± 64 tahun. Keadaan makam Habib
Husin terlihat terawat bersih, dan disitu juga terlihat makam- makam kerabatnya
yang masih ada hubungan darah dengan Beliau. Oleh masyarakat makam beliau
dianggap keramat.
f. Masjid
Jami’Mempawah
Masjid peninggalan Kerajaan Mempawah yang ada
sekarang bernama Masjid
Jami’atul Khair yang terletak di tepi sungai dipulau Pedalaman. Masjid ini
dibangun kira- kira pada tahun 1928 pada masa pemerintahan Panembahan Mohammad Taufik Akamaddin. Di dalamnya
terdapat mimbar yang telah dibentuk dengan gaya modern, yang terbuat dari besi
baja dan beratap kain berwana kuning. Lantai masjid itu terbuat dari kayu
belian, beduk dari kulit dan kayu beliaan dan dua buah jam dinding kuno sebagai
pelengkap dalam ruangan masjid.
D. Tempat Dan Peristiwa
Sejarah
a.
Penyumpahan Di Pinang
Sekayu Dan Lubuk Gundul
Menurut cerita narasumber
penyumpahan disini adalah suatu perjanjian yang dibuat oleh masyarakat Dayak dengan pihak kerajaan yang isinya
menyatakan bahwa “Mengaku setia kepada Raja turunan Patih Gumantar turun-temurun”.
Penyumpahan pertama terjadi di Pinang Sekayu pada masa Opu Daeng Manambon
Pangeran Mas Surya Negara. Hal itu terjadi karena adanya perselisihan yang
terjadi dikalangan keluarga kerajaan, dalam hal ini antara Daeng Manambon dan
Pangeran Adipati. Sedangkan penyumpahan kedua di Lubuk Gundul terjadi pada masa
pemerintahan Gusti Jemiril yang bergelar Panembahan Adiwijaya.
b.
Upacara Robo’-Robo’
Seperti
disebutkan bahwa upacara Robo’-Robo’ diadakan setiap hari Rabu terakhir bulan
Safar, setahun sekali. Kata Robo’ diartikan sebagai Rabu. Maka Robo’-Robo’
sangat dekat kaitannya dengan Rabu-Rabu. Istilah lain juga disebut Safaran
karena diadakan hanya pada malam Safar. Menurut kepercayaan masyarakat setempat
bahwa pada malam Safar merupakan malam yang naas dan penuh kesialan.
Dimana Tuhan Yang Maha
Esa menurunkan bala kepada manusia
pada
setiap tahunnya pada bulan Safar dan menurut kepercayaan roh halus yang dapat
menolong menyelamatkan manusia. Bagi masyarakat daerah Kabupaten Pontianak di
Mempawah, upacara ini lebih bersifat historis, religius, magis, dan sosio
kultural. Robo’-Robo’ termasuk upacara besar dan melalui beberapa tahapan yaitu
upacara ziarah kekubur, upacara kenduri, dan yang terakhir adalah hiburan
rakyat yang bersifat tradisional.
c.
Benteng Syarif Kasim
Bangunan
yang dahulu dibuat oleh Sultan Kasim di Pulau Pedalaman dekat Keraton Mempawah,
menyerupai sebuah benteng yang sekarang tinggal reruntuhannya saja. Bangunan
tersebut terbuat dari bahan batu hitam yang kuat. Dipakai sebagai tempat
pertahanan prajurit-prajurit kerajaan dari musuh-musuhnya.
d.
Lubuk Batang Dan Lubuk
Sauh
Lubuk
Batang adalah nama sebuah kampung yang terletak dikampung dalam pinggir Sungai
Mempawah. Merupakan sebuah pelabuhan kecil tempat menerima cukai dari rakyat
yang datang dari hulu sungai dengan menggunakan perahu. Lubuk artinya sungai
yang dalam dan Batang artinya batang kayu yang disusun seperti rakit untuk
dijadikan tempat bongkar muat di situ.
Selain
itu ada juga sebuah kampung yang bernama Lubuk Sauh yang letaknya di kampung
dalam juga. Fungsi dari Lubuk Sauh juga sama yaitu sebagai pelabuhan. Di sebut
Lubuk Sauh karena setiap perahu yang datang berlabuh menurunkan sauh atau
jangkar perahu disitu. Pedagang yang datang ke Kerajaan Mempawah antara lain
pedagang Bugis, Siantan (Sumatra), Brunai dan lain-lain.
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Keajaan
Bangkule Rajakng dipimpin oleh seorang Patih bernama Patih Gumantar yang
terkenal gagah berani. Dari keturunan Patih Gumantar menikah dengan Daeng
Menambon dari suku lain yaitu Bugis. Dari keturunan Daeng Menambon inilah yang
menjadi raja-raja di Mempawah. Perpindahan
pusat kerajaan dari Sebukit Rama ke Karangan karena didesak oleh Belanda, yaitu
pada masa pemerintahan Penembahan Adiwijaya.
Penembahan yang
anti Belanda ini sampai wafatnya tetap berada di Karangan. Kemudian di kalangan
masyarakat timbul dua pendapat mengenai makam dari Penembahan Adiwijaya yaitu
Karangan dan di Pulau Pedalaman. Sebelum menghembuskan nafasnya yang terakhir
beliau pernah berpesan supaya dimakamkan di Karangan. Biasanya permintaan dari seorang
yang mau meninggal wajib dipenuhi
apalagi beliau seorang raja.
Kehidupan
sosial dan hubungan antar daerah kebanyakan dilakukan melalui sungai, sehingga
perdagangan dan pelayaran berkembang dengan pesat. Begitu juga perdagangan
dilakukan dengan negara-negara atau
daerah lain di luar Kalimantan Barat. Hal ini ditunjukkan dengan adanya
perkampungan yang terdapat di sekitar kerajaan, biasa dilakukan oleh para
pedagang yang jauh tempat tinggalnya dan secara rutin mengadakan hubungan
dagang dengan Kerajaan Mempawah. Bahkan ada yang menikah dan mempunyai
keturunan dengan penduduk setempat. Bandar sungai dengan nama tertentu seperti
Lubuk Sauh, Lubuk Batang, Galah Hilang, menunjukkan keadaan yang ramai pada
waktu itu sebagai tempat untuk berlabuh dan menurunkan barang.
Ada juga
nama-nama tempat seperti Sangking, Melinsam, Lubuk Gundul
dan sebagainya sebagai tempat bersejarah yang selalu dikenang oleh rakyat mempawah. Semua itu merupakan peninggalan
Sejarah Kerajaan Mempawah yang tak ternilai. Walaupun sekarang sudah banyak
terjadi perubahan-perubahan di tempat-tempat tersebut, sehingga sulit untuk
diketahui tempatnya.
Sepeninggalan
Penembahan Adiwijaya, oleh Belanda diangkatlah
Syarif Kasim dari Pontianak anak Sultan Abdul Rahman. Maksud dari
pengangkatan itu belum dapat diketahui sampai sekarang, yang jelas dengan
pengangkatan Syarif Kasim tersebut berarti hubungan Belanda dan Pontianak
sangat erat. Apalagi di Kerajaan Mempawah terdapat benteng gaya barat
peninggalan Syarif Kasim, tujuannya mungkin untuk mempertahankan diri dari
serangan kerajaan-kerajaan lain.
Sepeninggalan
Syarif Kasim tahta diduduki oleh Syarif
Husin dan kemudian berturut-turut keturunan dari Penembahan Adiwijaya. Setelah
pemerintahan Syarif Husin tahta kerajaan di pegang oleh keturunan Adiwijaya
sampai kedatangan Jepang di Indonesia. Tindakan Jepang dengan menculik para
raja dan juga tokoh-tokoh masyarakat termasuk juga Penembahan Mohammad Thaufiq
Akamadin, menyebabkan makam Raja Mempawah ini tidak diketahui dengan pasti
dimana letaknya, apakah ikut dikubur bersama-sama dengan para korban lainnya di
Mandor atau dikubur di tempat lain.
B.
Saran
1.
Tempat-tempat
bersejarah dan peninggalan-peninggalan Kerajaan Mempawah yang ada agar
ditingkatkan pemeliharaannya.
2.
Agar
Pemerintah Daerah memberikan penghargaan kepada penulis-penulis buku Sejarah
Kerajaan Mempawah dan membantu hal pendanaannya.
3.
Penyebarluasan
informasi mengenai Sejarah Kerajaan Mempawah kepada masyarakat terutama peserta
didik, dan mahasiswa supaya lebih ditingkatkan, dengan harapan dapat menambah kesadaran sejarah
kepada masyarakat khususnya peserta didik kita.
4.
Penggalian
terhadap benda-benda bersejarah lebih ditingkatkan lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Nurcahyani, Lisyawati. (1994). Pendataan
Sejarah Keraton Mempawah dan Peninggalan Sejarahnya. Pontianak : Balai
Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Pontianak.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar